KONGKLUSI (PENYIMPULAN)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Logika merupakan cabang filsafat yangbersifat praktis berpangkal
pada penalaran, sekaligus juga sebagai dasar filsafat.Oleh karena itu untuk
berfilsafat yang baik harus di landasi logika, supaya penalarannya logis dan
kritis. Di samping itu, logika juga sebagai sarana ilmu, sama halnya dengan
matematika dan statistic karena semua ilmu harus didukung oleh penalaran logis
dan sistematis yang merupakan salah satu syarat sifat ilmiah.
Ada banyak keuntungan yang dapat diperoleh dengan mempelajari
logika, antara lain mempertinggi kemampuan untuk menyatakan gagasan secara
jelas dan berbobot, meningkatan keterampilan menyusun definisi dan kata-kata,
serta memperluas kemampuan untuk merumuskan argumentasi dan memberikan
analisisnya secara kritis.[1]
Namun apabila diselidiki lebih lanjut, dan terutama bila harus
dipraktekkansungguh-sungguh, ternyata bahwa berpikir dengan teliti dan tepat
merupakan kegiatan yang cukup sukar juga. Manakala kita meneliti dengan seksama
dan sistematis berbagai penalaran, segera akan diketahui bahwa banya penalaran
tidak “menyambung”, tidak “nyekerup”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari penyimpulan?
2.
Apa macam-macam penyimpulan?
3.
Apa itu penyimpulan induktif dan deduktif?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian dari penyimpulan
2.
Untuk mengetahui macam-macam penyimpulan
3.
Untuk mengetahui penyimpulan induktif dan deduktif
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Arti Penyimpulan
Penyimpulan ialah kegiatan manusia, yang dari pengetahuan yang
telah dimiliki dan berdasarkan pengetahuan itu bergerak ke pengetahuan baru.
a.
Kegiatan manusia, yang giat bukan hanya akal saja, tetapi seluruh
manusia. Akal budi memegang kendali, tetapi perasaan dan kehendak ikut
mempengaruhi jalan pikiran itu, entah dalam arti yang baik, entah dalam arti
yang tidak baik.
b.
Dari pengetahuan yang telah dimiliki, dengan kata-kata ini,
ditunjuk titik pangkal untuk setiap pemikiran, yaitu pengetahuan yang telah
ada. Titik pangkal ini dapat berupa pengetahuan tentang fakta-fakta, atau suatu
asas umum, mungkin suatu anggapan atau suatu hipotesis yang menjadi titik tolak
untuk pemikiran lebih lanjut.
c.
Berdasarkan pengetahuan, dengan ungkapan ini, ditunjuk hubungan
yang ada antara pengetahuan baru dan pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Pengetahuan baru yang diperoleh secara kebetulan itu bukanlah hasil pemikiran.
d.
Bergerak. Dengan ini dinyatakan bahwa pemikiran merupakan suatu
proses. Kita tidak dapat mengerti segala-galanya sekaligus, melainkan selangkah
demi selangkah dan, dari aspek yang satu ke aspek yang lain.
e.
Pengetahuan baru. Yaitu jika kita dari kebenaran yang telah
dimengerti sampai pada kesimpulan yang sebelumnya memang belum di mengerti
dengan jelas.
Berbagai istilah penyimpulan.
Titik pangkal: pengetahuan yang
telah dimiliki serta yang merupakan titik-tolak dalam proses pemikiran itu
disebut antecedes atau premis (artinya: yang mendahului). Jadi, premis=hal dari
mana disimpulkan sesuatu.
Hasil pemikiran: pengetahuan baru
yang diperoleh berdasarkan premis-premis disebut kesimpulan.
Proses mengambil suatu kesimpulan
dari premis-premis tertentu itu disebut penyimpulan.
Hubungan antara premis dan
kesimpulan, serta yang merupakan dasar untuk kesimpuln itu agar lebih mudah
kita sebut hubungan(istilah teknisnya:konsekuensia).[2]
B.
Macam-macam Penyimpulan
I.
Penyimpulan langsung
Adapun
penyimpulan langsung disebut dengan penalaran langsung ialah untuk penunjuk
penalaran yang premisnya hanya terdiri dari sebuah proposisi saja. Istilah
penalaran langsung ini berasal dari Aristoteles. Beberapa penyimpulan langsung:
1.
Obversi
Cara
untuk menarik kesimpulan dari sebuah proporsisi adalah dengan cara obversi. Prosedur
obversi adalah:
a.
Kualitas proporsisi premis diganti, dari proporsisi alternative
dijadikan negatif sebaliknya.
b.
Tim predikat diganti dengan komplemennya. Prinsip yang menjadi
dasar penyimpulan obverse adalah:
A=non
non A, A itu ekuivalen dengan non A. contoh:
Premis:
manusia adalah makhluk berpikir.
Konklusi:
manusia bukan non makhluk berpikir.
2.
Pembalikan (konversi)
Membalik
suatu putusan berarti menyusun suatu putusan baru dengan jalan menggantikan
subjek dan predikat, dengan tidak mengurangi kebenaran dan isi dari subjek
tersebut. Contoh: pegawai negeri itu bukan pegawai swasta, jadi pegawai swasta
itu bukn pegawai negeri. Kalimat ini dapat di bolak balik. Subjek dan Predikat
dapat di tukar tempatnya.
Ada beberapa aturan-aturan pembalikan, yaitu:
a.
Putusan A boleh dibalik menjadi putusan I
Contoh:
semua mahasiswa itu manusia(A)
Tetapi tidak semua manusia itu Mahasiswa(I)
b.
Putusan E selalu boleh dibalik.
Contoh:
Anjing itu bukan kucing, jadi kucing itu bukan anjing.
c.
Putusan I dapat dibalik menjadi putusan I.
Contoh:
ada buah-buahan yang merah, jadi ada barang-barang merah yang merupakan buah.
d.
Putusan O tidak dapat dibalik.
Contoh:
ada manusia yang bukan dokter. Jadi ada dokter bukan manusia.
3.
Ekuivalen.
Jika
mengerti bahwa ‘tak ada orang belgia yang menjadi jago pencak’, maka secara
langsung dapat kita simpulkan bahwa ‘tak ada jago pencak yang berbangsa belgia’.
Kalau ‘A dan B tidak sama’, maka dapat juga dikatakan ‘A itu tidak sama dengan
B’ atau A≠B. maka putusan-putusan berikut ini juga benar:
a.
Beberapa B=A
b.
Beberapa A≠B
c.
Beberapa B≠A
d.
Ada A yang B
e.
Ada A yang bukan B
f.
Ada B yang A
g.
Ada B yang bukan A
h.
Tidak semua A=B
i.
Tidak semua B=A
Rumusan-rumusan baru itu disebut
ekuivalen, artinya: mengatakan hal yang sama. Putusan-putusan baru itu
sebetulnya tidak mengatakan sesuatu yang baru, hanya perumusannya berlainan, tetapi
dengan memakai subjek dan predikat yang sama.
II.
Penyimpulan tidak langsung
Penyimpulan
tidak langsung adalah premisnya terdiri atas lebih dari satu proposisi, yang
termasuk penyimpulan tidak langsung yakni induksi dan deduksi.
Contoh:
Apakah dapat dikatakan bahwa jiwa manusia
dapat mati? Dengan kata lain: apakah predikat ‘tak dapat mati’ dapat di
terapkan pada subjek ‘jiwa’? untuk menjawab, kita harus mencari alasan.
Misalnya bahwa jiwa manusia itu bersifat rohani.
Maka
jalan pikiran dapat disusun demikian:
Jiwa manusia = Rohani
= tak dapat mati
S = M = P
|
Cara
berpikir seperti ini disebut penyimpulan tidak langsung. Disebut tidak langsung
karena S dan P dari kesimpulan dipersatukan melalui atau dengan perantara term
menengah tersebut, berfungsi menunjukan alasan mengapa S dan P tertentu dapat
dipersatukan.[3]
C.
Penyimpulan Induktif dan deduktif
a.
Penalaran Induktif
Penalaran
induktif adalah proses penalaran yang bertolak dari peristiwa-peristiwa yang
sifatnya khusus menuju pernyataan/simpulan umum.[4]
Thomas
Henry Huxley(1825-1895) dalam Soekadijo(1994) menerangkan induktif dengan
contoh sebagai berikut.[5]
“Anggaplah
kita mengunjungi warung buah-buahan karena ingin membeli apel.Kita ambil
sebuah, dan ketika mencicipinya, terbukti itu masam.Kita perhatikan apel itu
dan terbukti bahwa apel itu keras dan hijau. Kita ambil sebuah yang lain. Itu
pun keras, hijau, dan masam.Si pedagang menawarkan apel ketiga.Akan tetapi
sebelum mencicipinya, kita memperhatikannya dan terbukti yang itupun keras dan
hijau, dan seketika itu kita beritahukan, bahwa kita tidak menghendakinya,
karena yang itu pun pasti masam seperti lain-lainnya yang sudah kita cicipi.”
Jalan
pikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk tidak membeli
apel, adalah sebuah induktif. Huxley menjelaskan proses induksi itu sebagai
berikut: “Pertama-tama, kita telah melakukan kegiatan yang disebut induksi.
Kita telah menemukan bahwa dalam dua kali pengalaman sifat keras dan hijau pada
apel itu selalu bersama-sama dengan sifat masam.Demikianlah pada peristiwa yang
pertama, dan itu diperkuat dalam peristiwa yang kedua. Memang itu dasar yang
amat sempit, akan tetapi sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi: kedua fakta
itu kita generalisasikan dan kita percaya akan berjumpa dengan rasa masam pada
apel, bila kita temui sifat keras dan hijau. Dan ini suatu induksi yang tepat.
Penalaran
diatas menurut Huxley adalah demikian:
Induksi:
apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Semua apel keras dan hijau adalah masam.
Deduksi:
Semua apel keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau.
Apel 3 adalah masam.
Induksi
seperti di atas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses peningkatan
dari hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal (a passage
from individuals to universals).
Ciri-ciri
dari induksi:
1.
Premis-premis dari induksi ialah proposisi empiric yang langsung
kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic statement).
2.
Konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang
dinyatakan didalam premis-premisnya.
3.
Meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia
yang normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alas an untuk menolaknya. Jadi
konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau
dengan perkataan lain: konklusi induksi itu memilki kredibilitas rasional.
1.
Syarat-syarat generalisasi
Hasil
penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalisasi.
Generalisasi dalam arti ini berupa suatu proposisi universal, seperti: “semua
apel yang keras dan hijau, rasanya masam, ‘semua logam yang dipanasi memuai’.
Generalisasi yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat sebagai berikut:
1.
Generalisasi harus tidak
terbatas secara mutlak artinya, generalisasi tidak boleh terikat kepada
jumlah tertentu. Kalau dikatakan bahwa “semua A adalah B”, maka proposisi itu
harus benar, berapa pun jumlah A. proposisi itu berlaku untuk setiap dan semua
subyek yang memenuhi kondisi A.
2.
Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal, artinya,
tidak boleh terbatas dalam ruang dan waktu.
3.
Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian. Yang dimaksud
dengan dasar pengandaian di sini ialah: dasar dari yang disebut. Contohnya yang
jelas sebagai berikut: faktanya: x, y, dan z itu masing-masing bukan B. , ada generalisasi: semua A adalah B.
Pengendaiannya:
Andaikata x, y, dan z itu masing-masing sama dengan A atau dengan kata-kata
lain: Andaikata x,y, dan z itu masing-masing sama dengan B.
2.
Bentuk generalisasi induktif
Dalam
logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran yang
pasti.Yang ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi.Maka hasil
usaha analisa dan rekonstruksi penalaran induktif itu hanya berupa
ketentuan-ketentuan mengenai bentuk induksi yang menjamin konklusi dengan
probabilitas setinggi-tingginya.
Bentuk-bentuk
generalisasi induktif di bawah ini:
1.
Apel ini keras, hijau dan rasanya masam.
v Semua apel yang
keras dan hijau rasanya masam.
2.
Apel 1 keras, hijau, dan rasanya masam.
Apel
2 idem
Apel
3 idem
v Semua apel
keras dan hijau, rasanya masam.
3.
Apel 1 keras, hijau, kecil, benjol, dan masam.
Apel
2 idem
Apel
3 idem
v Semua apel
keras dan hijau, rasanya masam.
Analogi
Induktif
Analogi
sebagai dasar induksi
‘analogi’
dalam bahasa Indonesia ialah ‘kias’ (Arab: qasa = mengukur, membandingkan).
Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang
satu.Dalam mengadakan perbandingan, orang mencari persamaan dan perbedaan di
antara hal-hal yang diperbandingkan.kalau lembu dibandingkan dengan kerbau,
maka kedua-duanya adalah binatang, akan tetapi yang satu berbeda dengan yang
lain mengenai besarnya, warnanya dan sebagainya.
Analogi
dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan satu sebagai dasar penalaran.Sebagai
penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan.
Tumbuhan-tumbuhan
berbunga dan bunga itu merupakan perhiasan baginya. Bangsa itu bukan
tumbuh-tumbuhan dan juga tidak berbunga, akan tetapi pejuang yang gugur dalam
membela bangsanya, menjadi perhiasan bagi bangsanya, sehingga secara analogi
dikatakan bahwa pejuang itu’ gugur sebagai kusuma bangsa’.
Bentuk
analogi induktif
Bentuk
penalaran analogi induktifi itu ditentukan oleh jumlah fakta yang dijadikan
dasar dari konklusinya dan dinyatakan sebagai premis.
Selain
oleh jumlah fakta yang dijadikan dasar penyimpulan, bentuk analogi juga
tergantung kepada jumlah factor-faktor analogi.Bentuk penalaran analogi
induktif selanjutnya ditentukan oleh jumlah factor disanalogi, akhirnya bentuk
analogi induktif juga tergantung kepada bentuk proposisi yang menjadi
konklusinya.
Jadi
untuk generalisasi induktif dan analogi induktif itu baik factor-faktor
probabilitasnya maupun kaidah-kaidahnya adalah sama. Dalam metode keilmuan,
analogi induktif itu dapat digunakan
untuk mendeterminasikan apakah sesuatu obyek atau fakta itu, dan sifat-sifat
apakah yang dapat diharapkan padanya, sedang generalisasi induktif terutama
digunakan untuk menemukan hokum, menyusun teori, atau hipotesa.
3.
Sebab-akibat sebagai dasar induksi
Dalam
pengertian sebab-akibat itu pertama-tama terkandung makna bahwa yang satu
(sebab) itu mendahului yang lain (akibat), setidak-tidaknya secara logika atau
dalam jalan pikiran kita. Akan tetapi tidak semua yang mendahului sesuatu yang lain
itu sebab dari yang lain itu. Kalau seorang pasien meninggal sesudah disuntik,
belum tentu kematiannya disebabkan oleh suntikan itu.Hubungan antara sebab dan
akibat itu bukan hubungan urutan biasa atau hubungan yang kebetulan. Hubungan
sebab-akibat itu suatu hubungan intrinsic, suatu hubungan azasi, hubungan yang
begitu rupa,sehingga kalau yang satu (sebab) ada/tidak ada, maka yang lain
(akibat) juga pasti ada/tidak ada. Agar hubungan antara sebab dan akibat
menjadi jelas, dalam logika ‘sebab’ itu dipandang sebagai suatu syarat atau
suatu kondisi yang merupakan dasar adanya atau terjadinya sesuatu yang lain,
yaitu ‘akibat’. Dibedakan antara dua macam kondisi yaitu: kondisi mutlak dan
kondisi memadai. Yang disebut kondisi mutlak ialah sebab yang kalau tidak ada,
akibatnya juga tidak ada. Ini berarti bahwa akibat A hanya ada kata kalau ada
sebab S: A hanya kalau S. jadi dari adanya akibat A dapat disimpulkan adanya
sebab S. adapun yang disebut kondisi memadai ialah sebab yang kalau ada.
Akibatnya tentu ada: kalau S maka A. jadi dari adanya sebab di sini dapat
disimpulkan adanya akibat. Contoh : sebuah pabrik petasan terbakar, karena
bahan petasan terkena percikan api rokok, sehingga meledak dan menimbulkan
kebaran itu. Dalam peristiwa itu bahan petasan itu merupakan kondisi mutlak
dari ledakan yang menimbulkan kebakaran itu.[6]
b.
Penalaran Deduktif
Deduktif
adalah mengambil suatu kesimpulan yang hakikatnya sudah tercakup di dalam suatu
proposisi atau lebih. Kesimpulan tersebut benar-benar sesuatu yang baru dan muncul
sebagai konsekuen dari hubungan-hubungan yang terlihat dalam proposisi atau
proposisi-proposisi.[7]
Dalam
deduktif hasil usaha itu berupa ketentuan mengenai deduktif yang sahih, yaitu
bentuk deduktif, yang kalau premisnya benar, kesimpulannya tentu juga benar.
Contoh:
Semua logam di panaskan memuai
Seng termasuk logam
Jadi seng dipanaskan pasti memuai.
Dalam
contoh tersebut proposisi ‘semua logam dipanaskan memuai’ adalah proposisi
universal atau umum, dan kesimpulannya seng di panaskan pasti memuai adalah
proposisi yang lebih khusus di bandingkan premisnya.[8]
Penalaran
deduktif adalah penalaran yang bertolak dari pernyataan yang bersifat umum
menuju pada pada pernyataan khusus atau simpulan.
1.
Menarik simpulan berdasarkan satu premis
Contoh
:
Premis : Bujur sangkar adalah segi empat sama sisi.
Simpulan :
a.
bujur sangkar pasti segi empat, tetapi segi empat belum tentu bujur sangkar.
b.
Segi empat yang sisi-sisinya horisontalnya tidak sama panjang
dengan sisi tegak lurusnya bukan bujur sangkar.
Premis
adalah pernyataan yang mendasari penalaran untuk menarik simpulan.
Contoh lain deduksi:
Semua
logam dipanasi memuai
Seng
termasuk logam
Jadi
seng dipanasi pasti memuai
Dalam
contoh tersebut, proposisi semua logam dipanasi memuai adalah proposisi yang
universal atau umum, dan kesimpulannya seng dipanasi pasti memuai adalah
proposisi yang lebih khusus dibanmdingkan premisnya.Sifat kesimpulan dengan
penalaran deduksi bukan probabilitas tinggi atau rendah, melainkan langsung
benar atau salah.Dalam contoh tersebut, seng dipanasi pasti memuai adalah
keharusan dari premis semua logam dipanasi memuai dan seng itu termasuk logam.
2.
Menarik simpulan berdasarkan dua premes atau lebih dalam hal ini
digunakan penalaran silogisme.
a.
Silogisme kategorial
Premis
Umum/premis Khusus/Simpulan
PU :
A = B
PK
: C = A
S :
C = B
Keterangan:
A :
semua anggota golongan tertentu
B :
sifat atau kegiatan A
C :
seseoarang atau sesuatu bagian dari A
Contoh
:
PU :
semua siswa harus menaati aturan sekolah.
PK :
suyono adalah siswa.
S : suyono pasti menaati aturan sekolah.
Silogisme
yang diperpendek disebut entinem.
Contoh
: C = B karena C = A
Suyono
menaati aturan sekolah karena ia siswa.
b.
Silogisme Alternatif
PU : kegagalan panen daerah itu selalu disebabkan
oleh banjir atau serangan hama.
PK : tahun ini kegagalan panen daerah itu tidak
disebabkan oleh banjir.
S : kegagalan panen daerah itu disebabkan oleh
banjir.
c.
Silogisme Hipotesis
PU : jika hari ini tidak hujan, saya datang
kerumahmu.
PK :
hari ini hujan.
S :
saya tidak datang kerumahmu.[9]
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
Kesimpulan dari materi diatas bahwa Penyimpulan ialah kegiatan
manusia, yang dari pengetahuan yang telah dimiliki dan berdasarkan pengetahuan
itu bergerak ke pengetahuan baru. penalaran langsung ialah untuk penunjuk
penalaran yang premisnya hanya terdiri dari sebuah proposisi saja. Penyimpulan
tidak langsung adalah premisnya terdiri atas lebih dari satu proposisi, yang
termasuk penyimpulan tidak langsung yakni induksi dan deduksi.
B.
Saran
Demikian tugas penyusunan karya tulis ini kami persembahkan harapan
kami dengan adanya penulisan ini bisa menjadikan kita memiliki keilmuan agar
kita menjadi seorang muslim yang baik dan bijak. Apabila ada kekurangan dan
kekeliruan dalam penulisan karya tulis ini, kami sebagai penyusun mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
[1] Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar, (Bandung: pustaka
grafika, 1999), h.11
[2] Ibid,… h.121-122
[3] Surajiyo,dkk, Dasar-dasar Logika,(Jakarta:PT Bumi Aksara, 2007),
h.124-130
[4] Supriyadi, panduan belajar
Bahasa Indonesia, (Surabaya: PT. Primagama, 2012),h.43
[5] Surajiyo,dkk, Dasar-dasar Logika,… h.59
[7] Poespoprodjo, Logika Ilmu Menalar,… h.149
[8] Surajiyo,dkk, Dasar-dasar Logika,… h.63
[9] Supriyadi, panduan belajar bahasa Indonesia, (PT Primagama bimbingan
belajar: Yogyakarta, 2012), h. 43-44
Komentar
Posting Komentar