Akhlak Baik dan Buruk
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Perbuatan
manusia ada yang baik dan ada yang buruk. Hati manusia memiliki perasaan dan
dapat mengenal, perbuatan itu baik atau buruk dan benar atau salah.
Penilaian
terhadap suatu perbuatan adalah relatif, hal ini disebabkan adanyaperbedaan
tolak ukur yang digunakan untuk penilaian tersebut. Perbuatan tolak ukur
tersebut, disebabkann karena perbedaan agama, kepercayaan, cara berpikir, ideologi,
lingkungan hidup, dan sebagainya.
Ada pendapat
yang mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai kekutan insting. Hal ini
berfungsi bagi manusia untuk dapat membedakan mana yang benar dan mana yang
salah, yang berbeda-beda, karena pengaruh kondisi dan situasi lingkungan. Dan
seandainya dalam satu lingkungan pun belum tentu mempunyai kesamaan insting.
Kemudian pada diri manusia juga mempunyai ilham yang dapat mengenal nilai suatu
itu baik atau buruk.
Didalam ilmu
Akhlak kita berjumpa dengan istilah-istilah: benar, salah, baik dan buruk.
Apakah prinsip-prinsip yang kita pakai itu benar atau salah: apakah
kebiasaan-kebiasaan yang kita perbuat itu baik atau buruk.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian akhlak ?
2.
Apa saja aliran akhlak ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Baik Dan Buruk
Pengertian baik
secara bahasa adalah terjemahan dari kata khoir dalam bahasa
Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitab Munjid,
mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai
kesempurnaan.[1]
Selanjutnya,yang
baik itu juga adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang
diharapkan dan memberikan kepuasan.Yang baik itu juga sesuatu yang sesuai
dengan keinginan.[2]
Akan tetapi
secara obyektif, walaupun tujuan orang atau golongan di dunia ini berbeda-beda,
sesungguhnya pada akhirnya semuanya mempunyai tujuan yang sama, sebagai tujuan
akhir tiap-tiap sesuatu, bukan saja manusia bahkan binatang pun mempunyai
tujuan. Dan tujuan akhir dari semuanya itu sama, yaitu bahwa semuanya ingin
baik. Dengan kata lain semuanya ingin bahagia. Tak ada seorangpun dan sesuatupun
yang tidak ingin bahagia.
Tujuan dari
masing-masing sesuatu walaupun berbeda-beda, semuanya akan bermuara kepada satu
tujuan yang dinamakan baik, semuanya mengharapkan agar mendapat yang baik dan
bahagia, tujuan akhirnya sama. Dalam ilmu etik disebut “kebaikan tinggi”, yang
dengan istilah Latinnya disebut Summum Bonum atau bahasa Arabnya Al-Khair
al-Kully. Kebaikan tertinggi ini biasa juga disebut kebahagiaan yang universal
atau Universal Happiness.
B.
Beberapa Aliran Akhlak
Perkembangan pemikiran manusia selalu berubah, begitu juga patokan
yang digunakan orang untuk menentukan baik dan buruk manusia. Keadaan yang
demikian ini menurut Poedjawijatna terpengaruh oleh pandangan filsafat tentang
manusia yaitu antropologia metafisika. Beliau menyebutkan sejumlah pandangan
filsafat yang digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu hedonisme,
utilitariasnisme, sosialisme, religionisme, idealisme.[3]Sedangkan
Asmaran as menyebutkan ada empat aliran filsafat yaitu adat
kebiasaan,hedonisme, intuisi, dan evolusi.[4]
Membicarakan baik dan buruk pada perbuatan manusia maka penentuan
dan karakternya baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur melalui fitrah
manusia. Dan dapat disimpulkan bahwa diantara aliran-aliran filsafat yang
mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk diantaranya :
1.
Aliran Hedonisme
Aliran Hedonisme berpendapat bahwa norma baik dan buruk
adalah”kebahagiaan” karenanya suatu perbuatan apabila dapat mendatangkan
kebahagiaan maka perbuatan itu baik, dan sebaliknya perbuatan itu buruk apabila
mendatangkan penderitaan.
Menurut aliran ini, setiap manusia selalu menginginkan kebahagiaan,
yang merupakan dorongan daripada tabiatnya dan ternyata kebahagiaan adalah
tujuan akhir dari hidup manusia, oleh karenanya jalan yang mengantarkan
kearahnya dipandang sebagai keutamaan(perbuatan mulia atau baik).
Maksud dari “kebahagiaan” itu menurut aliran ini adalah Hedone,
yakni kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan rasa serta terhindar dari
penderitaan. Karenanya kelezatan bagi aliran ini adalah merupakan ukuran dari perbuatan,
jadi, perbuatan dipandang baik menurut kadar kelezatan yang terdapat padanya
dan sebaliknya perbuatan itu buruk menurut kadar penderitaan yang ada padanya.
Aliran Hedonisme, bahkan tidak saja mengajarkan agar manusia
mencari kelezatan, karena pada dasarnya tiap-tiap perbuatan ini tidak sunyi
dari kelezatan tetapi aliran ini justru menyatakan: hendaklah manusia itu
mencari sebesar-besar kelezatan, dan apabila ia disuruh memilih di antara
beberapa perbuatan wajib ia memilih yang paling besar kelezatannya.
Maksud paham ini adalah bahwa manusia hendaknya mencari kelezatan
yang sebesar-besarnya bagi dirinya. Dan setiap perbuatannya harus diarahkan
kepada kelezatan. Maka apabila terjadi keraguan dalam memilih sesuatu
perbuatannya, harus diperhitungkan banyak sedikitnya kelezatan dan
kepedihannya. Dan sesuatu itu baik apabila diri seseorang yang melakukan
perbuatan mengarah kepada tujuan.[5]
2.
Aliran sosialisme(adat istiadat)
Baik dan buruk menurut aliran ini ditentukan berdasarkan adat
istiadat yang berlaku dan dipegangi oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan
berpegang teguh pada adat dipandang baik, dan orang yang menentang tidak
mengikuti adat istiadat dipandang buruk dan mendapat hukuman secara adat. Adat
istiadat selanjutnya dipandang sebagai pendapat umum. Ahmad Amin mengatakan
bahwa tiap bangsa atau daerah mempunyai adat tertentu mengenai baik dan buruk.[6]
Di masyarakat akan kita jumpai adat istiadat yang berkenaan dengan
cara berpakaian, makan, minum, dan sebagainya. Orang yang mengikuti
cara yang demikian itulah yang dianggap orang baik, dan orang yang
mengingkarinya adalah orang yang buruk. Kelompok yang menilai baik dan buruk
menurut adat ini dalam pandangan filsafat dikenal dengan aliran sosialisme.
Paham ini muncul dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia, maka
masyarakat lah yang menentukan nilai baik dan buruk perbuatan manusia itu
sendiri. Karena hakikat dari adat itu sendiri sebenarnya adalah produk budaya
manusia yang sifatnya Nisbi dan relafit, maka nilai baik dan buruk tersebut
juga sangat relatif.
3.
Aliran Instuinisme
Aliran instuinismene berpendirian bahwa setiap manusia mempunyai
kekuatan naluri batiniah yang dapat membedakan sesuatu itu baik atau buruk
dengan hanya selintas pandang. Jadi, sumber pengetahuan tentang suatu perbuatan
mana yang baik atau mana yang buruk adalah kekuatan naluri, kekuatan batin
atau bisikan hati nurani yang ada pada tiap-tiap manusia.
Oleh karena itu, apabila seseorang melihat sesuatu perbuatan, maka
pada dirinya timbul semacam ilham yang memberi petunjuk tentang nilai perbuatan
itu dan selanjutnya ditetapkanlah hukum perbuatan itu baik atau buruk. Dengan
demikian, maka kebanyakan manusia sependapat atas keutamaan sifat benar,
dermawan ataupun berani dan semacamnya, demikian pula mereka sepakat atas
sifat-sifat kebalikannya yang cela dan keji.
Para pengikut aliran instuisi, berpendapat bahwa manusia mengerti
hal-hal yang baik dan yang buruk secara lansung dengan melihatnya sekilas pandang.
Perbuatan-perbuatan baik dan buruk diukur dengan daya tabiat batiniah,
karenanya dikatakan, benar adalah wajib karena benar termasuk sifat utama buak
karena darurat dank arena pendirian orang banyak atau jaminan kemewahan serta
buka berarti diluar tabiatnya. Demikian pula pencurian adalah buruk karena
dalam tabiatnya termasuk sifat melampaui batas atau permusuhan pada orang lain
dan merampas kekuasaanya dengan tanpa hak.
Sebagai pendukung aliran ini Platov(430-347SM) mengatakan bahwa
kesalahan besar kalau kebahagiaan itu dijadikan tujuan hidup. Sebab hal itu
dapat menyesatkan hati nurani. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia bukan setiap
perbuatannya itu mencari kebahagiaan.
Dalam mengutakan paham Plato(instuisi) dari Aristoteles
(Hedonisme), Sainther berkata, sesungguhnya salah besar sekali bahwa tujuan
hidup itu adalah bahagia, karena dalam hal ini menimbukan pandangan yang buruk
terhadap segala sesuatu untuk kewajiban. Kewajiban mana yang lebih penting dari
manfaat dengan segala apa yang dinamakan kebahagiaan. Sungguh bahagia itu tidak
berarti apa-apa bila dibandingkan dengan kewajiban, dan dapat dikatan
keruntuhan akhlak, bila seorang melebihkan kebahagiaan manusia daripada
kewajibannya.[7]
4.
Aliran Idealisme
Aliran ini sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran
manusia. Mula-mula dalam filsafat abrat kita temui dalam bentuk ajaran yang
murni dari Plato yang menyatakan bahwa alam, cita-cita adalah kenyataan
sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan
saja dari alam ide. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang
menggambarkan alam ide sebagai suatu tenaga yang berada dalam benda-benda dan
menjalankann pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya, dapat dikatakan sepanjang
masa tidak pernah paham idealism hilang sama sekali. Pada abad pertenagahn,
satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah idealisme
ini. Pada zaman Aufklarung, ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba
dua, seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat
kerohanian dan kebendaan ataupun dua-duanya mengakui bahwa unsur kerohanian
lebih penting dari pada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus
dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjan masa,
walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil fisafat yang mendalam. Puncak zaman
Idealisme pada masa abad ke 18 dan ke 19 adalah periode idealiisme. Pada saat
itu, Jerman besar sekali pengaruhnya di Eropa.[8]
Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant. Pokok-pokok
pandangan etika idealisme dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Wujud yang paling dalam dari kenyataan(hakikat) ialah kerohanian.
Sesorang berbuat baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain
melainkan atas dasar”kemauan sendiri” atau “rasa kewajiban”. Sekalipun dincam
dan dicela orang lain perbuatan baik itu dilakukan juga, karena adanya rasa
kewajiban yang bersemi dalam rohani manusia.
b.
Faktor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah “kemauan”
yang melahirkan tindakan yang konkrit. Dan menjadi pokok disinin adalah
“kemauan baik”.
c.
Dari kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang
menyempurnakannya yaitu ”rasa kewajiban”.
Dengan
demikian, maka menurut aliran ini “kemauan” adalah merupakan faktor terpenting
dari wujudnya tindakan-tindakan yang nyata. Oleh karena itu “kemauan yang baik”
adalah menjadi dasar pokok dalam etika idealism. Menurut Kant untuk dapat
terealisasinya tindakan dari kemauan yang baik, maka kemauan yang perlu
dihubungkan engan suatu hal yang akan menyempurnakannya, yaitu “perasaan
kewajiban”. Jadi, ada kemauan yang baik kemudian disertai engan perasaan
kewajiban menjalakna sesuatu perbuatan/tindakan, maka terwujudlah perbuatan
atau tindakan yang baik.
Perlu
dijelaskan disini, bahwa rasa kewajiban itu terlepas dari kemanfaatan, dalam
arti kalau kita mengerjakan sesuatu karena perasaan kewajiban, maka kita tidak
boleh/perlu memikirkan apa untung dan ruginya dari pekerjaan/perbuatan itu.
Jadi, rasa kewajiban itu tidak dapat direalisasi lagi kepada elemen-elemen yang
lebih kecil, dalam arti kewajiban itu hanya untuk kewajiban semata.[9]
5.
Aliran Utilitarisme
Secara bahasa utilis berarti berguna. Paham ini berpendapat bahwa
yang baik adalah yang berguna. Kalau ukuran ini berlaku bagi perorangan disebut
individual, dan jika berlaku bagi masyarakat dan negara disebut sosial.[10]Tokoh alliran ini adalah John Stuart Mill(1806-1873). Bertolak dari
namanya, utilitarisme di tuduh menyamakan kebaikan moral dengan manfaat. Aliran
ini pun di anggap sebagai “etika sukses”, yaitu etika yang menilai kebaikan
orang dari apakah perbuatannya menghasilkan sesuatu yang baik atau tidak.
Pokok-pokok pandangannya adalah sebagai berikut :
a.
Baik buruknya suatu perbuatan atas dasar besar kecilnya manfaat
yang ditimbulan bagi manusia.
b.
Kebaikan yang tertinggi(summunn bonum) adalah utility(manfaat).
c.
Segala tingakah manusi selalu diarahkan pada pekerjaan yang
membuahkan manfaat yang sebesar-besarnya.
d.
Tujuannya adalah kebahagiaan(happines) orang banyak.
Pengorbanan
misalnya dipandang baik jika mendatangkan manfaat. Lain dari pada itu hanyalah
sia-sia belaka. Utilitarisme disebut universal karena yang menjadi norma moral,
bukanlah akibat-akibat baik bagi si pelaku itu sendiri, melainkan akibat-akibat
baik diseluruh dunia. Utilitarisme menuntut perhatian kepada kepentingan dari
semua orang yang terpengaruh oleh tindakan itu, termasuk kepentingan si pelaku
itu sendiri.[11]
Paham ini juga
menjelaskan arti kegunaan tidak hanya yang berhubungan dengan materi, melainkan
melalui sifat rohani yang bisa diterima dengan akal. Dan kegunaan bisa diterima
jika yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang
lain. Disini Nabi juga menilai bahwa orang yang baik adalah orang yang banyak
memberi manfaat kepada orang lain(HR. Bukhari).
Kebahagiaan
bersama bagi semua orang harus menjadi pokok pandangan tiap-tiap orang, bukan
kebahagiaan dia sendiri. Dan kebahagiaan terhitung menjadi keutamaan kerena
membuahkan kelezatan bagi manusia lebih banyak dari buah kepedihan. Dia adalah
utama, meskipun memperpedih sebagian orang-orang dan meskipun memperpedih yang
melakukan perbuatan itu sendiri. Demikian pula kerendahan menjadi kerendahan
karena kepedihannya bagi manusia lebih berat dari kelezatannya.[12]
6.
Aliran Evolusi
Paham ini
mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada dialam ini mengalami evolusi, yaitu
berkembang dari apa adanya sampai pada kesempurnaan. Paham seperti ini tidak
hanya berlaku pada benda-benda yang tampak, seperti binatang, manusia dan tumbuh-tumbuhan,
akan tetapi juga berlaku pada benda yang tidak dapat diihat dan diraba oleh
indera,seperti moral dan akhlak.[13]
Paham evolusi
pertama muncul dibawa oleh seorang ahli pengetahuan bernama “LAMARCK”. Dia
berpendapat bahwa jenis-jenis binatang itu merubah satu sama lainnya. Dan
menolak pendapat yang mengatakn bahwa jneis-jenis itu berbeda-beda dan tidak
dapat berubah-ubah. Alasan lainnya bahwa jenis-jenis itu tidak terjadi pada
satu masa akan tetapi bermula dari binatang rendah, menigkat dan beranak satu
dari lainnya dan berganti dari jenis ke jenis lain.
Ada dua faktor pergantian yaitu :
a.
Lingkungan : mengadakan penyesuaian dirinya menurut keadaan.
b.
Warisan : bahwa sifat-sifat tetap pada pokok, sesuai dengan pertengahan
perpindahan pada cabang-cabangnya. Paham ini disebut paham pertumbuhan
dan kepentingan(evalition).
Herbert Spencer
mencocokkan paham ini dengan akhlak berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan
akhlak itu tumbuh secara sederhan dan mulai berangsur meningkat sedikit demi
sedikit,dan ia berjalan ke arah “cita-cita” yang dianggap sebagai tujuan. Maka
perbuatan itu baik bia dekat dari cita-cita itu dan buruk bila jauh dari
padanya. Tinjauan manusia di dalam hidup ini akan mencapai cita-cita itu atau
mendekatinya sedapat mungkin.
Bahwa Spencer
menjadikan ukuran perbuatan itu adalah “merubah diri sesuai dengan
keadaan-keadaan yang mengelilinginya”. Suatu perbuatan di katakan baik bila
menimbulkan lezat dan bahagia. Dan yang demikian itu terjadi bila sesuai dengan
apa yang melingkunginya atau dengan kata lain cocok dengan keadaan yang beada
di sekelilingnya. Dan yang demikian itu terjadi, bila tidak susuai dengan
keadaan yang berbeda di sekelilingnya. Jadi tiap-tiap perbuatan itu bila lebih
banyak persesuaian adalah lebih lebih dekat pada kesempurnaan.
Pengikut paham
ini berpendapat bahwa segal perbuatan akhlak itu tumbuh dengan sederhana, dan
mulai naik dan meningkat sedikit demi sedikit, lalu berjalan menuju kepada
cita-cita, dimana cita-cita ini ialah yang menjadi tujuan. Maka perbuatan itu
baik bila dekat dengan cita-cita itu, dna buruk bial jauh darinya. Tujuan
manusia didalam hidup ini mencapai cita-cita itu atau mendekatinya sedapat
mungkin.[14]
7.
Aliran Religionisme
Paham ini
berpendapat bahwa yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai denngan
kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai
dengan kehendak Tuhan. Paham ini,terhadap keyakinan teologis yaitu keimanan
kepada Tuahan sangat memegang peran penting. Karena tidak mungkin orang berbuat
sesuai dengan kehendak Tuhan, apabila yang melakukan tidak beriman kepada-Nya.
Perlu
diketahui, bahwa didunia ini ada bermacam-macam agama yang dianut, dan
masing-masing agama menentukan baik buruk menurut ukuranya agama masing-masing.
Agama Hindu, Budha, Yahudi, Kristen dan Islam , masing-masing agama tersebut
memiliki pandangan dan tolok ukur tentang baik dan buruk antra yang satu dengan
lainya berbeda-beda dan juga ada persamaanya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Baik adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan
dan disukai manusia. Dengan demikian yang dikatakan buruk itu adalah sesuatu
yang dinilai sebaliknya dari yang baik. Aliran-aliran filsafat yang
mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk ini adalah aliran sosialisme, idealisme,
intuisisme, utilitarianisme, hedonisme, evolusi dan religionisme.
Baik atau buruk
itu relatif sekali, karena tergantung pada pandangan dan penilaian
masing-masing yang merumuskan. Dengan demikian nilai bai atau buruk menurut
pengertian tersebut bersifat relatif dan subyektif, karena berganrung kepada
individu yang menilainya.
Ajaran islam
bersumber dari wahyu Allah SWT berupa Al-Qur’an yang dalam penjabarannya di
contohkan oleh sunah Nabi Muhammad saw.
Masalah akhlak dalam ajaran islam mendapatkan perhatian besar. Istialh baik dna
buruk menurut islam harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Kalau kita perhatikan, istilah baik buruk dapat kita jumpai dalam Qur’an maupun
Hadis, seperti Al Hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, al-birr, dan
azizah.
DAFTAR PUSTAKA
A.Mustofa. 2010. Akhlak Tasawuf,Bandung: Pustaka Setia.
Amin, Ahmad. 1983. Etika Ilmu Akhlak, Jakarta: Bulan
Bintang.
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak
Tasawuf, Bandung:Pustaka Setia.
Ma’luf,Louis,Munjid,(Beirut,Daarul Masyrik.Mansoor,Sofia,Pengantar.Penerbitan.Bandung
ITB)
Nata, Abuddin. 1996. Akhlak
Tasawuf, Jakarta:PT.Rajagrafindo Persada.
Poedjawijatna. 1982. Etika Filsafat Tingkah
Laku, Jakarta: Bina Aksara.
[1]Louis Ma’luf,
Munjid, (Beirut, Daarul Masyrik. Mansoor, Sofia, Pengantar. Penerbitan Bandung
ITB) 1996 hlm 104
[2] Abuddin Nata,
Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), hlm. 104
[3]Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku (Jakarta, Bina
Aksara, 1982) hlm. 43
[4]Abuddin Nata,
Akhlak Tasawuf. Hlm. 104
[5] A.Mustofa,
Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,2010), hlm. 64-65
[6]Ahmad
Amin, Etika (Ilmu Akhlak) (Bulan Bintang, Jakarta, 1983), hlm. 87
[7]A.Mustofa,
Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 71-72
[8]Rosihon Anwar,
Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), hlm. 77
[9] Ahmad
Amin, Etika Ilmu Akhlak, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1983), hlm. 75-76
[10] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf. hlm. 114
[11] Rosihon Anwar,
Akhlak Tasawuf. hal 78-79
[12] A.Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal.70
[13] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
1996), hlm 119
[14]A.Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.75
Komentar
Posting Komentar